15 November 2019

Ekspor-Impor Kedelai (Makalah)


BAB I. PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Dalam perdagangan bebas, khusunya dalam sektor pertanian, globalisasi telah membuat pembangunan sektor pertanian menjadi terhambat. Keadaan ini disebabkan oleh persaingan yang sangat ketat dari produk-produk pertanian sejenis yang diimpor. Salah satu produk pertanian yang memiliki persaingan ketat dengan produk impor yaitu kedelai. Bahkan hingga saat ini, produk kedelai dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk kedelai impor. Impor kedelai Indonesia diperkirakan akan semakin besar pada tahun-tahun mendatang, karena tidak adanya proteksi dari pemerintah seperti dengan dipermudahnya tata niaga impor, berupa dihapuskannya monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) kedelai. Subsidi ekspor yang dilakukan oleh AS sebagai negara pengekspor utama kedelai di Indonesia juga membuat kedelai impor semakin menguasai pasaran dalam negeri.
Persoalannya, Indonesia sangat bergantung sekali pada kedelai impor. Indonesia sendiri setiap tahunnya membutuhkan sebanyak 2 juta ton kedelei untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Ironisnya, Indonesia yang dikenal sebagai negeri tempe tahu tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai itu. Petani lokal hanya mampu memenuhi 60% kebutuhan dalam negeri. Dalam rangka itu, pemerintah pun mencanangkan swasembada kedelai pada 2014. Namun, produksi itu tidak pernah mengalami kenaikan. Oleh karena ketergantungan impor yang sangat tinggi, tentunya gejolak harga di pasar internasional sangat rentan sekali terhadap pasokan di dalam negeri. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan dari perkotaan hingga pedesaan telah membuat kebutuhan akan kedelai nasional selalu meningkat setiap tahunnya. Dalam makalah ini, saya mengupas perdagangan internasional komoditas kedelai. Dipilihnya komoditas ini karena kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang jumlah pasokannya semakin tidak dapat dipenuhi di dalam negeri. Sekalipun ditanam dengan cara yang paling sederhana pun, produksi kedelai dalam negeri tetap saja tidak dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat. Apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, kebutuhan impor kedelai menjadi semakin membengkak yang pada tingkatan tertentu apabila terjadi ketergantungan yang sangat tinggi dapat membahayakan kedaulatan negara. Mengingat luas lahan dan produksi kedelai yang terus menurun secara signifikan, maka analisis dampak impor terhadap produksi kedelai nasional perlu dilakukan. Selain itu perlu pula dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas, luas panen dan harga kedelai domestik. Dengan demikian nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengambilan kebijakan sehubungan dengan perkedelaian nasional.
2. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas kondisi ekspor dan impor kedelai di Indonesia, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, bagaimanakah kebijakan perdagangannya, pengaruhnya terhadap perdagangan domestik, dan dapatkah Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan dan berubah menjadi negara pengekspor. Dari beberapa aspek tersebut kemudian dibandingkan dengan kondisi yang dimiliki negara lain.

BAB II. KONDISI PERDAGANGAN KEDELAI NASIONAL DAN DUNIA
Kedelai merupakan salah satu komoditi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan bahan baku pembuatan tempe dan tahu yang telah menjadi menu sehari-hari masyarakat Indonesia pada umumnya. Tahu dan tempe sendiri merupakan makanan yang banyak digemari masyarakat Indonesia, tidak hanya kalangan masyarakat bawah saja, tetapi juga kalangan kelas menengah atas. Sayangnya, sampai saat ini bahan baku tahu dan tempe, yaitu kedelai, sebagian besar harus didatangkan dari luar negeri. Hal ini disebabkan produksi kedelai nasional yang belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan kedelai dalam negeri. Dengan besarnya kebutuhan kedelai yang harus diimpor, maka harga kedelai di dalam negeri sangat rentan terhadap gejolak harga yang terjadi di pasar internasional (Putrie, 2013).
Kebutuhan kedelai terus meningkat karena pertambahan penduduk, juga meningkatnya konsumsi per kapita terutama dalam bentuk olahan dan tumbuhnya industri pakan ternak (Siregar, 2003). Permintaan kedelai per kapita sejak periode 1970 sampai 1990 telah meningkat 160%. Sedangkan pada periode 1990-an sampai tahun 2010 diperkirakan tumbuh 2,92% per tahun (Siregar, 1999). Peningkatan konsumsi kedelai yang begitu pesat dan tidak dapat diimbangi oleh peningkatan produksi kedelai dalam negeri, maka terjadi kesenjangan. Kesenjangan itu ditutup dengan kedelai impor yang banyak menyita devisa (Amang dan Sawit, 1996). Sejak perdagangan kedelai lepas dari kontrol BULOG mulai tahun 1991 impor kedelai meningkat sangat pesat (Sudaryanto dan Swastika2007).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total Indonesia harus mengimpor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri.  Pada 2012, total kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton. Jumlah tersebut akan diserap untuk pangan atau perajin 83,7 persen; industri kecap, tauco, dan lainnya 14,7 persen; benih 1,2 persen; dan untuk pakan 0,4 persen. Impor kedelai terbesar Indonesia dari Amerika Serikat dengan jumlah 1.847.900 ton pada 2011. Kemudian, impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton. Anomali cuaca di Amerika Serikat dan Amerika Selatan menyebabkan pasokan kedelai pun turun dan harganya melonjak. Harga kedelai internasional pada minggu ke-3 Juli 2012 mencapai 622 dolar AS per ton atau Rp 8.345 per kilogram (kg) untuk harga impor di dalam negeri. Harga ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada 2011, yaitu bulan Februari sekitar 513 dolar AS per ton atau harga paritas impor di dalam negeri sekitar Rp 6.536 per kg.  Dengan harga kedelai impor yang menembus Rp 8.000 per kg menyebabkan para perajin tempe dan tahu terancam bangkrut karena daya beli konsumen yang terbatas. Harga kedelai tersebut meningkat dari rata-rata Rp 5.500-Rp 6.500 per kg. Di tengah gejolak harga kedelai, perlu dipahami bahwa ada dua persoalan dalam pasokan kedelai, yakni produksi dan distribusi. Untuk produksi, sekalipun banyak janji ada jutaan hektare (ha) lahan terlantar, Indonesia selalu kesulitan dalam ekspansi lahan sampai pada tingkat pemanfaatan (Anonim a, 2012).
Dengan memperhatikan besarnya kebutuhan kedelai dalam negeri untuk pasokan industri (tahu, tempe, kecap, dan lain sebagainya) yang menghasilkan bahan pangan bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dan impor kedelai yang terus meningkat, maka berbagai upaya pemerintah seharusnya diarahkan untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri dan memperkecil impor kedelai, yang tentunya saja menghabiskan banyak devisa negara.
Description: Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kedelai Nasional.png
Gambar 1. Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kedelai Nasional (Sumber: Zakiyah, 2011)
Dari sisi produksi, perkembangan produksi kedelai pernah mencapai puncaknya pada 1992, namun kemudian terus menunjukkan kecenderungan yang menurun (Gambar 1). Penurunan selama 11 tahun tersebut mencapai 125,34 persen. Hal itu disebabkan oleh gairah petani menanam kedelai menurun. Akibatnya luas tanam kedelai juga menurun. Ini dipicu oleh masuknya kedelai impor dengan harga murah, adanya kemudahan impor kedelai, serta bea masuk impor/tarif nol persen (0%) yang dimulai pada tahun 1998. Pada tahun 2005-2006 produksi mulai meningkat namun sangat lambat. Produksi kembali turun pada tahun 2007-2008 dan mulai meningkat kembali pada 2009. Berbeda dengan trend produksi dan luas panen, produktivitas menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Namun produktivitas kedelai nasional masih relatif rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara penghasil kedelai. Produktivitas di sentra produksi Amerika Serikat dapat mencapai 3,6 ton/Ha, sementara di Indonesia hanya mencapai 1,2 ton/Ha. Ini disebabkan kurangnya modal yang dimiliki petani, disamping gairah petani semakin rendah dengan masuknya kedelai impor yang harganya lebih murah dari harga kedelai petani.
Tahun
Produksi Kedelai (Ton)
Indonesia
Dunia
Persentase
1990
1.487.433
108.464.511
1,37
1991
1.555.453
103.320.158
1,51
1992
1.869.713
114.460.616
1,63
1993
1.708.530
115.176.710
1,48
1994
1.564.847
136.483.471
1,15
1995
1.680.010
126.997.618
1,32
1996
1.517.180
130.223.250
1,17
1997
1.356.891
144.418.185
0,94
1998
1.305.640
160.103.858
0,82
1999
1.382.848
157.796.852
0,88
2000
1.018.000
161.400.626
0,63
2001
826.932
177.923.563
0,46
2002
673.056
181.815.725
0,37
2003
671.600
187.514.812
0,36
3004
723.483
206.289.954
0,35
2005
808.353
214.909.669
0,38
2006
749.038
221.500.938
0,34
Pertumbuhan/ tahun
-6,55%
4,78%

Description: Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Impor Kedelai Nasional.png
Gambar 2. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Impor Kedelai Nasional (Sumber: Zakiyah, 2011)

Tabel 1. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Dunia Tahun 1990 – 2006
Sumber: BPS Diolah (1990-2006)
Tahun
Konsumsi (kg/ kapita/ tahun)
Pertumbuhan (%)
1999
5,70

2002
7,10

2003
6,93
-2
2004
7,22
4
2005
7,78
8
2006
8,31
7
Rata-rata pertumbuhan/tahun

6,29
Perkembangan produksi kedelai dapat dibagi menjadi 2 periode besar, yaitu pertumbuhan yang menurun dan stagnan. Pertumbuhan menurun terjadi selama 1999-2000. Produksi rata-rata mencapai 1,4 juta ton dan menurun sebesar 3,6% per tahun. Produksi stagnan terjadi pada 2001-2006, dimana produksi menurun drastis dari periode sebelumnya dan bergerak lambat pada angka 742 ton. Pertumbuhan produksi pun demikian rendah, hanya 0,4 % per tahun.
Tabel 2. Perkembangan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1999 – 2006 (Sumber: Neraca Bahan Makanan, BPS)
Dari sisi konsumsi, konsumsi kedelai nasional menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, dan mencapai puncaknya pada tahun 2006 yaitu 8,31 kg/kapita/tahun. Konsumsi kedelai per kapita per tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 2003 terjadi penurunan 2% dari tahun sebelumnya. Selanjutnya, konsumsi meningkat dengan rata-rata 6,3 % per tahun sehingga pada tahun 2006 mencapai 8,31 kg/tahun. Kondisi konsumsi ini tentu bertolak belakang dengan produksi. Pada satu sisi produksi semakin rendah, pada sisi lain konsumsi tumbuh meningkat sebesar 4,3 % per tahun. Indikasi peningkatan ketergantungan impor telah muncul dengan perbedaan fenomena pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai domestik.
Tahun
Impor
Ekspor

Volume (ton)
Nilai (000 USD)
Volume (ton)
Nilai (000 USD)
1996
1.705.583
530.582


1997
1.532.112
518.860


1998
1.033.802
273.776


1999
2.227.321
475.158
7.596
3.606
2000
2.568.565
558.737
12.013
4.490
2001
2.728.358
611.140
21.987
5.808
2002
2.716.641
591.121
13.812
6.569
2003
2.773.668
706.753
13.474
6.018
2004
2.881.735
967.957
17.109
6.211
2005
2.982.986
801.779
8.276
6.080
2006
3.121.334
838.390
N/A
N/A
Pertumbuhan
8,42 %
7,88 %
1,70 %
8,04 %
Peningkatan konsumsi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi akibat menurunnya luas areal panen kedelai. Akibatnya untuk memenuhi permintaan dari konsumen kedelai yang sebagian besar adalah industri, Indonesia harus mengimpor kedelai. Jumlah kedelai yang diimpor pun menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Dengan memperhatikan besarnya kebutuhan kedelai dalam negeri untuk pasokan industri (tahu, tempe, kecap, dan sebagainya) yang menghasilkan bahan pangan bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dan impor kedelai yang terus meningkat, maka berbagai upaya pemerintah seharusnya diarahkan untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri dan memperkecil impor kedelai, yang tentunya saja menghabiskan banyak devisa negara.
Tabel 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1996 – 2006 (Sumber: Badan Pusat Statistik diolah, 1996-2006)
Setiap tahunnya, rata-rata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,3 juta ton (1996-2005). Volume dan nilai impor kedelai masing-masing tumbuh sebesar 8,4 dan 7,9% per tahun (1996-2006). Volume ekspor dari tahun 1999-2005 tumbuh rendah yaitu 1,7 % per tahun. Namun, nilai ekspor tinggi yaitu 8% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kedelai yang diekspor adalah produk olahan, sehingga mengalami peningkatan nilai tambah tinggi.
Tabel 4. Produksi, Impor, Ekspor, dan Kebutuhan Dalam Negeri Kedelai di Indonesia Tahun 2006 – 2010 (Sumber: Badan Pusat Statistik diolah, 2011)
Tahun
Produksi Nasional (ton)
Impor (ton)
Ekspor (ton)
Kebutuhan dalam Negeri
Pangsa produksi terhadap kebutuhan dalam negeri
2006
747.611
1.132.144
1.732
1.878.023
39,81
2007
592.534
1.411.589
1.872
2.002.251
29,59
2008
775.710
1.173.097
1.025
1.947.782
39,83
2009
974.512
1.314.620
446
2.288.686
42,58
2010
907.031
1.740.505
385
2.647.151
34,26
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang disajikan dalam tabel 4 menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai dalam negeri cenderung meningkat pada lima tahun terakhir, dan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi 29-42 persen dari kebutuhan tersebut.
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 dan 2010 terjadi penurunan produksi kedelai nasional. Menurunnya produksi kedelai nasional ini tidak hanya disebabkan oleh faktor produktivitasnya yang rendah, namun ada beberapa faktor lainnya yaitu:
1.      Menurunnya gairah petani dalam menanam kedelai. Bagi petani, menanam kedelai dianggap kurang memberikan keuntungan dibandingkan dengan menanam komoditas lain. Hal ini disebabkan karena banjirnya kedelai impor di pasaran dengan harga yang jauh lebih murah dan kualitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kedelai lokal/dalam negeri sehingga membuat produksi dalam negeri kalah bersaing dengan pasar. Secara konkret, bercocok tanam padi dan jagung masih lebih menguntungkan dibandingkan kedelai di tingkat biaya usaha tani. Harga kedelai menjadi dilema bagi pemerintah, yaitu ketika harga tinggi tentu saja petani menjadi bergairah, tetapi di sisi lain konsumen akan terbebani karena produk pangan menjadi mahal (Anonim b, 2013).
2.      Keterbatasan kemampuan petani dengan lahan sempit dalam menerapkan teknologi tepat guna yang meningkatkan tingkat produktivitas usahatani relatif stagnan. Umumnya keterbatasan ini disebabkan oleh faktor ekonomi, yaitu harga input yang relatif mahal dibandingkan dengan penghasilan yang dapat diperoleh petani dari lahannya. Meski pada kenyataannya semakin banyak tenaga kerja yang terdidik di pedesaan, namun mereka enggan bekerja di sektor pertanian. Mereka lebih memilih bekerja di luar sektor pertanian dengan penghasilan lebih tinggi. Keadaan tersebut juga semakin mempersulit peningkatan dan perkembangan produksi pangan dalam negeri.
3.      Keterbatasan modal petani terutama untuk membeli sarana produksi pertanian (saprotan) seperti pupuk, benih unggul, pestisida, dan sebagainya.
4.      Adanya fenomena iklim yang semakin tidak menentu akibat pengaruh pemanasan global yang diakibatkan oleh emisi karbon dan penebangan hutan yang berlebihan. Tanaman kedelai sendiri pada dasarnya membutuhkan iklim yang sesuai dengan daerah asal kedelai karena dapat berpengaruh terhadap produksi. Selain itu, banyaknya kasus serangan hama dan penyakit membuat petani enggan menanam kedelai. Faktanya, meskipun negara lain juga beriklim tropis, namun mereka mampu memproduksi kedelai dalam jumlah yang tinggi.
5.      Belum optimalnya dukungan dari pemerintah untuk usaha peningkatan produksi kedelai, baik pada kebijakan impor, kebijakan permodalan, ataupun kebijakan sarana produksi. Namun pemerintah membuat kebijakan yang mulai diterapkan pada Januari 2005, yaitu dengan menetapkan bea masuk impor kedelai sebesar 10% telah membuat harga kedelai dalam negeri menjadi naik dan dapat meningkatkan minat petani menanam kedelai.
6.      Adanya penerapan subsidi oleh negara maju yang berdampak pada menurunnya harga produk pertanian di pasar dunia. Hal itu telah berlangsung secara terus menerus selama implementasi Agreement on Agrocultural, pada saat Indonesia menerapkan trade liberization secara sepihak seperti yang dilakukan dalam konteks AFTA dengan tarif MFN sebesar 0-5% (kecuali untuk beras dan gula). Pemberian subsidi ekspor yang dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai negara eksportir terbesar dunia kepada Indonesia juga merangsang importir kedelai untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Akibatnya, impor kedelai semakin banyak masuk ke pasar dalam negeri.
7.      Persoalan lain yang dihadapi komoditas kedelai di dalam negeri dan terus bergantung pada impor adalah persoalan lahan. Selama ini tambahan lahan baru untuk tanaman kedelai belum juga terealisasi. Diperlukan tambahan lahan 500.000 hektare untuk komoditas kedelai (Anonim b, 2013).
Tabel 5. Perkembangan Harga Dalam Negeri di Tingkat Petani, Perdagangan Besar dan Eceran, dan Harga Internasional Tahun 1998-2006 (Sumber: BULOG (http://www.worldbank.org/prospects/pinksheets/1998.htm)
Tahun
Harga Dalam Negeri (Rp/kg)
Soybean (US) CIF Rotterdam (US$/ Ton)
Produsen*
Perdagangan Besar*
Konsumen*
1998
2.059,98
2.741,15
3.108,20
NA
1999
2.527,51
3.067,50
3.441,54
NA
2000
2.652,44
2.811,98
3.060,09
211,83
2001
2.918,84
3.029,37
3.485,02
195,83
2002
3.191,51
3.143,53
3.682,26
212,92
2003
3.277,85
3.226,18
3.793,96
264,00
2004
3.499,49
3.775,58
4.205,89
306,50
2005
3.783,70
4.218,20
4.628,88
274,40
2006
4.010,78
4.660,83
4.977,85
268,42
2007
4.457,14
4.789,29
5.123,21
386,20
Pertumbuhan (persen/th)
7,59%
6,46%
5,91%
7,97%
Harga kedelai dunia yang lebih rendah dari harga domestik merupakan faktor pendorong melajunya kedelai impor. Meskipun demikian, di pasar domestik, harga kedelai bergerak positif. Harga produsen dan perdagangan besar masing-masing mengalami pertumbuhan sebesar 7,6 dan 6,5 % per tahun (1998-2007). Laju pertumbuhan harga perdagangan besar yang berbeda karena besar selain dipengaruhi harga produsen domestik juga dipengaruhi pertumbuhan harga internasional yaitu 8,0 % per tahun (tabel 5). Pasar internasional kedelai selama periode 2000-2007 relatif stabil dalam hal pasokan, sebaliknya pasar domestik cenderung menurun.
Kenaikan harga kedelai di pasar domestik ini diduga disebabkan oleh kelangkaan pasokan, baik dari produsen domestik dan impor. Terkait dengan fluktuasi pasokan di pasar domestik, maka peningkatan harga kedelai di tingkat konsumen relatif lebih cepat dibandingkan di tingkat pedagang besar. Oleh karena itu, pertumbuhan harga di tingkat konsumen lebih tinggi daripada pertumbuhan harga pedagang besar, yaitu sebesar 5,8 % per tahun (tabel 5).
Dalam rangka mempertahankan peningkatan produksi kedelai di Indonesia, tentunya sangat diperlukan sejumlah kebijakan, antara lain:
1.      Memperbaiki kualitas benih. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu untuk dapat bersaing dengan kedelai impor. Apabila kualitas benih sudah ditingkatkan, diharapkan mutu kedelai produksi dalam negeri juga akan meningkat. Jika mutu kedelai lokal telah bagus, maka secara otomatis pengrajin tahu dan tempe akan lebih memilihnya ketimbang kedelai impor. Disamping perbaikan kualitas benih, petani harus melakukan pemupukan tanaman sesuai aturan yang telah digariskan oleh Deptan. Untuk kedua kegiatan ini — pemilihan benih yang unggul dan pemupukan sesuai aturan — diperlukan bimbingan yang intensif oleh aparat Deptan. Oleh karena itu Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Deptan perlu lebih aktif mendampingi petani dalam bercocok tanam.
2.      Memberikan jaminan harga. Kebijakan ini bisa dilaksanakan, misalnya dengan memberi peran yang lebih besar kepada Perum Bulog yaitu disamping sebagai penyalur juga sebagai stabilator harga. Dengan demikian petani kedelai tidak perlu khawatir akan mengalami kerugian akibat fluktuasi harga kedelai, terutama jatuhnya harga kedelai pada musim panen.
3.      Membangun jaringan terpadu antara petani dan pengrajin tahu tempe sehingga akses terhadap kedelai lokal dapat maksimal dan ketergantungan terhadap kedelai impor dapat diminimalisir.
Melalui ketiga kebijakan tersebut, diharapkan Indonesia dapat secara berangsur-angsur mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor dan selanjutnya dapat mencapai swasembada kedelai yang dapat menguntungkan semua pihak, khususnya pada petani kedelai dan industri yang menggunakan bahan baku kedelai (Purna et al., 2009)
BAB III. PENUTUP
Luas pertanaman kedelai kurang dari lima persen dari seluruh luas areal tanaman pangan, namun komoditas ini memegang posisi sentral dalam seluruh kebijaksanaan pangan nasional karena peranannya sangat penting dalam menu pangan penduduk. Kedelai telah dikenal sejak awal sebagai sumber protein nabati bagi penduduk Indonesia namun komoditas ini tidak pernah menjadi tanaman pangan utama seperti halnya padi. Jumlah impor dan harga impor berpengaruh nyata produksi kedelai nasional. Hal ini disebabkan jumlah impor dan harga impor berpengaruh nyata terhadap harga kedelai di tingkat petani. Makin tinggi jumlah impor maka harga kedelai di tingkat petani semakin turun, sebaliknya semakin rendah harga kedelai impor, maka harga kedelai di tingkat petani juga turun. Akibatnya luas panen dan produktivitas kedelai juga menurun. Penurunan luas panen dan produktivitas kedelai berdampak terhadap penurunan produksi kedelai. Untuk memacu harga kedelai yang menguntungkan bagi petani pemerintah perlu meregulasi kebijakan tarif impor kedelai, yang menyebabkan harga kedelai impor lebih rendah dari harga kedelai lokal. Kenaikan harga kedelai lokal akan memacu produksi kedelai dalam negeri. Peningkatan produksi kedelai perlu ditunjang dengan bantuan modal, pupuk dan benih unggul bagi petani, serta transfer teknologi dari Amerika Serikat sebagai negara produsen kedelai terbesar serta ekstensifikasi dengan membuka lahan-lahan baru. Pemerintah juga perlu mengatur saluran tatanianga dengan pola kemitraan yang menjamin dan memudahkan kedelai hasil produksi petani terjual dengan harga yang menguntungkan.

Daftar Pustaka
Anonima. 2012. Kedelai, Potret Ketakberdayaan Negara      <http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/kedelai-potretketak           berdayaan-negara/22868>. Diakses tanggal 17 Juni 2013.
Anonimb. 2013. Ironi Kedelai Impor di Negeri Tempe.         <http://www.kemenperin.go.id/artikel/3853/Ironi-Kedelai-Impor-di        Negeri-Tempe>. Diakses tanggal 17 Juni 2013.
Firdausy, C. 2005. Pembangunan Sektor Pertanian di Era Globalisasi. Pusat           Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Nuryanti, S. dan R. Kustiari. 2007. Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai    Dengan Kebijakan Tarif Optimal. Jurnal Pros 3 : 50-58.
Purna, I., Hamidi, dan Prima. 2009. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai. <http://www.setneg.go.id/index.php?option=comcontent&task=view&id=3         61&Itemi=29>. Diakses tanggal 17 Juni 2013.
Putrie, F. 2013. Tataniaga Kedelai Untuk Kepastian Harga Petani.            <http://www.antaranews.com/berita/378668/tataniaga-kedelai-untukkepastian-hargapetani>. Diakses tanggal 17 Juni 2013.
Siregar, M. 1999. Metode alternatif penentuan tingkat hasil dan harga kompetitif:  kasus kedelai. Jurnal Forum Agro Ekonomi 17: 66-73.
Siregar, M., 2003. Kebijakan Perdagangan dan Daya saing Komoditas KedelaiPSE         Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia, Bogor.
Sudaryanto, T. dan D. K. S. Swastika, 2007. Ekonomi kedelai di Indonesia. Forum           Agro Ekonomi 12 : 1-27.
Zakiyah. 2011. Dampak impor terhadap produksi kedelai nasional. Jurnal Agrisep 12:        1-10.


1 comment:

ANDRAINO ADAMS said...

Artikel bagus, Pernahkah Anda mendengar LFDS (Le_Meridian Funding Service, Email: lfdsloans@outlook.com --WhatsApp Contact: +1-9893943740--lfdsloans@lemeridianfds.com) adalah ketika layanan pendanaan AS / Inggris mereka memberi saya pinjaman $ 95.000,00 untuk memulai bisnis saya dan saya telah membayar mereka setiap tahun selama dua tahun sekarang dan saya masih memiliki 2 tahun lagi walaupun saya senang bekerja dengan mereka karena mereka adalah Pemberi Pinjaman asli yang dapat memberi Anda segala jenis pinjaman.

Post Top Ad

Your Ad Spot